01 di parit yani - Google Blog Search |
Posted: 30 Jun 2012 11:55 PM PDT Hantu dan Tukang Tambal Ban Oleh: AK Basuki Malam Jumat kliwon bagi Karman bukanlah sesuatu yang harus dikultuskan. Di saat banyak teman seprofesinya yang berkepentingan untuk diam saja di rumah, entah karena mencari wangsit atau memang berpantang mencari rejeki pada malam tersebut, Karman cuek saja. Justru bagus, pikirnya. Dia akan leluasa memonopoli jalanan. Paku-paku yang sengaja disebarkan oleh beberapa oknum tukang tambal ban, tidak termasuk dirinya, tidak jarang malah membuatnya kebanjiran order. Walau tidak setuju dengan cara kuno yang jahat itu, tapi Karman bersyukur dengan berkah yang didapatnya pula dari sana. Akan lebih banyak hantu yang berkeliaran, mungkin betul, seperti yang sudah-sudah. Bertemu mahluk-mahluk ganjil, dia sudah biasa. Jika ada yang pernah punya pengalaman berbicara dengan hantu tanpa kepala, dialah orangnya. Jika ada yang pernah dititipi untuk momong bayi genderuwo seukuran anak sapi sampai pagi, Karman orangnya. Misalkan pula ada yang pernah mengaku dikeloni hantu wanita cantik seperti bidadari, biarpun badannya bau kembang kamboja dan suara cekikikannya bikin celana basah, Karman juga orangnya. Hanya mengeloni saja, tidak berbuat apa-apa. Karman toh bukan lelaki hidung belang seperti dalam film-film Suzanna. Lelaki-lelaki bodoh yang sering tergoda dan lamur matanya sehingga mau saja mengantarkan hantu perempuan cantik yang tampak seperti perempuan malang kesepian. Keesokan paginya, tahu-tahu mereka terlihat berlari terbirit-birit keluar dari komplek pekuburan. Masih untung tidak dicekik sampai mampus. Tapi malam Jumat kliwon kali ini berbeda. Karman sudah merasakannya sejak berpamitan pada istrinya selepas isya. "Jumat kliwon lho, Pak," kata istrinya. "Terus?" "Sampean hati-hati, banyak yang keliaran." "Apa? Demit? Ndak takut. Lha aku kan sudah biasa ketemu kamu," jawab Karman terkekeh, tapi hatinya jadi berdesir tidak biasa. Bukan hanya karena kata-kata istrinya. Ada sesuatu yang lain, yang tidak bisa dia pahami. Satu firasat, bagi seorang Karman, wajib untuk dipercayai. Sama seperti dulu saat hatinya tiba-tiba merasa kosong seharian, detak jantungnya bertambah kecepatannya berkali-kali lipat, persis seperti hari ini. Dia, dengan tanpa berburuk maksud, telah melempar semua prasangka jauh-jauh. Tapi terjadi juga. Tengah malam, sebuah mobil produksi Eropa berjungkir balik beberapa kali sebelum berhenti dan menabrak pembatas jalan hanya beberapa puluh meter di depan bengkel tambal bannya. Semua penumpangnya mati. Anehnya, hantu-hantu mereka langsung duduk manis di hadapannya justru sebelum dia sempat berdiri untuk menghampiri tempat kejadian itu. Ada empat. Satu perempuan, tiga laki-laki. "Lha?" tanyanya keheranan. Sedikit ngeri karena mereka semua diam menatapnya, "Mbok ya bicara, jangan diam saja. Apa masih shock?" Hantu yang perempuan menangis, yang lain kelihatan marah. "Cari uang yang betul, dong!" "Lha?" "Paku disebar di jalanan. Siapa lagi kalau bukan Bapak yang tukang tambal ban?" "Sumpah, bukan saya!" elak Karman. Dia memang tidak pernah menyebar segala macam paku atau apapun yang bisa membuat tukang-tukang tambal ban seperti dirinya mendapat keuntungan, tetapi dengan resiko mengorbankan keselamatan orang lain. "Tapi Bapak tahu dan pura-pura tidak tahu, kan? Ini semua gara-gara Bapak! Pokoknya gara-gara Bapak!" Begitu saja dan mereka menghilang. Itu yang diyakini Karman jadi awal bagi hantu-hantu yang lain untuk setidaknya selalu hadir bercakap-cakap menemaninya. Kalaupun tidak, mereka hanya seperti mengisi daftar absensi, muncul di depan Karman, mengaget-ngageti lalu pergi. Tapi Karman sudah kebal. Sungguhpun rasa yang dialaminya seharian ini hampir sama dengan yang pertama dulu, dia telah siap. Karena itu dia hanya akan menunggu. Tidak akan bekerja, menunggu saja. Sampai tengah malam, sudah 4 sepeda motor bocor ban ditolaknya sebelum yang ditunggu akhirnya datang. Tiba-tiba saja sesosok hantu wanita cantik sudah duduk bertopang dagu di hadapannya. "Kok cantik betul kamu?" tanya Karman, "Bukan tersasar datang ke sini?" Hantu wanita bergaun hitam itu tersenyum. Kedua biji matanya dalam penglihatan Karman adalah serupa dua ekor kunang-kunang yang terluka dan berdarah kala bertarung memperebutkan hakikat hidup; menjadi terang atau redup selamanya. "Apa salah kalau saya cantik, Pak Karman?" "Tidak. Cuma sayang, secantik ini kok hanya jadi hantu." Karman lalu pura-pura sibuk menuangkan bensin ke dalam botol-botol kosong satu literan dan memajangnya di depan bengkel. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Sama sekali tidak ada yang lewat baik kendaraan atau orang berjalan. Nol. Bulu kuduknya meremang. "Tidak ada untungnya jadi cantik," kata hantu itu, "Sekali-kali mungkin bisa memuaskan hati sendiri, tapi tetap lebih banyak tidak beruntung." "Kalau mau mengeluh tentang kecantikan, jangan di sini. Saya belum pernah jadi orang cantik karena saya laki-laki. Istri saya tidak cantik, pekerjaan saya tidak cantik, nasib juga tidak cantik. Dalam sejarah, belum pernah saya bisa merasakan nikmatnya bersinggungan dengan kata cantik itu." "Saya tidak mengeluh tentang cantik, Pak Karman. Saya justru mau bicara tentang kematian." Hantu itu tertawa. Suaranya sedikit mirip kuda meringkik. "Lha?" "Pak Karman tahu tidak, kapan akan mati?" "Kalau saya tahu, buat apa saya jadi tukang tambal ban? Mending saya jadi tukang sulap. Melakukan banyak adegan berbahaya yang menghasilkan banyak uang. Bukan begitu? Asumsikan saja saya tahu umur saya bakal sampai 60 tahun. Sebelum itu, saya bisa cari uang banyak-banyak. Bikin pertunjukkan pancung kepala, minum racun, menahan peluru atau apa saja saya berani karena tahu belum jatahnya mati." "Masuk akal. Pak Karman bisa jadi pesulap terkenal penantang maut." "Itu maksudnya." "Nah, bagaimana kalau Pak Karman mati beberapa saat lagi?" "Ngawur!" "Tidak percaya?" Karman diam, sedikit merasa terancam. Hantu perempuan di hadapannya tidak mirip pencabut nyawa, tapi kata-katanya serius betul. Dia ingat firasatnya, jadi ingat juga - atau tiba-tiba saja memorinya memaksakan untuk mengingat hal-hal yang sebenarnya tidak pernah dia alami - bahwa beberapa hari lalu suara burung gagak terdengar di sekitar rumahnya. "Makanya bikin saya percaya." "Saya datang, Pak Karman, dari neraka. Neraka sekarang sudah hampir kelebihan penghuni. Bahkan malaikat sudah sering menancapkan papan pemberitahuan di tiap-tiap kapling kosong bahwa itu sudah ada yang yang akan menempati." Buset! Karman tertawa terkial-kial sampai air matanya keluar. Baru kali ini dia bertemu hantu pembual seperti ini, pikirnya. "Silakan saja ketawa, kenyataannya memang seperti itu," kata hantu perempuan itu tanpa terlihat tersinggung. "Terus .. terus …," kata Karman sambil menggelosoh di lantai tanah bengkelnya. Hatinya masih geli betul. "Malaikat neraka yang mengutus saya." "Mengutus untuk apa?" "Menjemput orang-orang baik, membawanya langsung ke pintu surga tanpa birokrasi yang ruwet supaya surga cepat penuh dan akhirnya proposal untuk perluasan neraka bisa diajukan bersama-sama dengan proposal dari surga." Karman ngakak lagi. "Dengan kata lain, orang-orang baik akan dibunuhi?" "Dijemput, Pak Karman." "Ngawur!" "Eh, masih nggak percaya.." "Terus, dari mana ceritanya neraka lebih cepat penuh? Harusnya sebaliknya. Bukannya pernah dengar, orang-orang baik itu justru lebih cepat mati? Tuhan merasa sayang, jika mereka dipanjangkan umurnya, akan terperosok berbuat dosa. Orang jahat umurnya dipanjangkan karena Tuhan juga sayang, memberi kesempatan mereka untuk bertobat." "Pak Karman yakin, orang-orang yang cepat matinya itu orang baik?" "Si Maksum? Si Rastam?" "Maksum itu fisiknya saja yang suka kelihatan ke mesjid, salat, mengaji. Tapi, Pak Karman tahu tidak kalau dia itu suka menyakiti hati keluarganya? Bayangkan, hampir seharian bekerja, pulang-pulang langsung ke mesjid, nyeramahi orang di sana tentang kasih sayang dalam keluarga, membual tentang amal ma'ruf nahi munkar, zikir sampai pagi. Dia pikir anak dan istrinya sudah cukup dikasih duit belanja untuk mewujudkan kasih sayang. Padahal mana cukup? Egois sekali, kan? Bukankah lebih baik seimbang antara tanggung jawab akhirat dan dunianya? Ibadah ya ibadah, tapi kalau sampai membiarkan keluarganya tanpa Imam yang stand by di rumah, memberikan anutan dan tanggung jawabnya itu mulai dari orang-orang terdekatnya lebih dulu, apa tidak namanya sia-sia ibadahnya? Terus, Rastam, orang kaya yang rajin sedekah. Pak Karman tahu tidak kenapa dia kaya? Korupsi. Itulah buktinya bahwa tidak selalu orang mati muda itu orang baik-baik." Karman diam. Jadi, sekarang ini kematiannya menjelang karena dia termasuk orang baik? Jika hantu itu memang bertugas menjemput orang-orang baik, berarti dia termasuk golongan orang-orang yang akan masuk surga? Senang iya, sedih juga iya. Duh, jadi terpikir untuk pulang dan menikmati kebersamaan dengan keluarganya sehari lagi saja. Tentunya akan dia manfaatkan benar-benar. Istrinya mungkin akan dia ajak tamasya ke pinggir pantai sejak pagi sambil menikmati martabak dan sate ayam. Berdua bercengkerama di atas tikar yang digelar di atas pasir … "Pak Karman takut?" "Takut kenapa? Kalau memang saatnya mati, sembunyi di belakang batu kali pun bakalan mati. Tapi saya mau tanya, mati di tangan hantu itu apakah tidak merugikan buat saya? Semacam mengurangi pahala saya?" "Mati adalah mati. Seperti orang bunuh diri, itu bukanlah mendahului takdirnya, tapi memilih sendiri caranya untuk mati. Nah, kematian Pak Karman biar saya yang pilihkan. Kalau nanti Tuhan murka, itu memang sudah resiko mahluk-mahluk seperti saya yang memang sudah dikutuk dari sejak awal penciptaan dunia." "Enak saja!" protes Karman, "Saya tidak mau, ah, mati dicekik hantu biarpun cantiknya seperti kamu." "Siapa bilang saya mau mencekik Pak Karman?" tanya hantu cantik itu sambil melenggang pergi dan berhenti tepat di tengah jalan. Jalanan benar-benar sedang lengang. Tapi beberapa detik kemudian dua pendar cahaya terlihat, mendekat cepat sekali dan menyilaukan matanya. Sebelum Karman menyadari apa yang terjadi, sebuah mobil tiba-tiba menyeruduk bengkel tambal ban sederhana itu. Hancur. Karman terlempar, entah bagaimana hingga ke parit di belakang bengkelnya. Sepertinya dia reflek melompat, atau memang mobil nahas itu tepat menyeruduk bokong keriputnya. Syukur dia ucapkan karena tubuhnya hanya lecet-lecet tidak berarti. Tidak mati. Hantu itu bohong! "Saya cuma bercanda, Pak Karman," tiba-tiba hantu cantik itu muncul lagi di dekatnya, memperhatikan Karman merangkak keluar dari parit seperti tikus got tua. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. "Jadi, saya mati atau tidak? Mencla-mencle!" "Yang mati dan akan secepatnya saya bawa adalah penumpang mobil itu. Bukan ke surga, langsung ke neraka! Saya punya dendam pribadi sama dia." "Lho?" "Obrolan kita tadi sekedar mengisi waktu, Pak Karman. Rupanya manusia itu memang bodoh, gampang percaya sama hantu, padahal sudah tahu mahluk-mahluk jahat seperti saya ini kerjanya membodohi manusia." "Asem kecut! Memang hantu bebas mengincar orang lalu menggoda dan membunuh?" "Tergantung iman yang diincar. Kalo bobrok dan lemah kaya orang itu atau mungkin Pak Karman, ya hati-hati saja. Saya ini dulu istrinya, tapi dia jahat dan khianat. Saya dibunuh karena dia punya perempuan lain," hantu itu cekikikan. Tapi di telinga Karman terdengar pahit. "Bukan saya yang mati." "Artinya, Pak Karman harus banyak beribadah biar tidak gampang diganggu, dihasut dan dibodohi hantu seperti saya," katanya untuk terakhir kali sebelum lalu menghilang dengan meninggalkan gaung suara cekikikan yang mendirikan bulu kuduk. Karman memaki-maki tiada henti. Saat dia tertatih-tatih kembali ke bengkelnya yang hancur dan orang-orang mulai ramai berkumpul untuk melihat kejadian di dini hari itu, Karman tiba-tiba ingin berdoa. Ingin berdoa yang khusyuk sekali. Cigugur, 1 Juli 2012 |
You are subscribed to email updates from di parit yani - Google Blog Search To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan